A. Pengertian Tujuan Instruksional Umum
Kegiatan belajar-mengajar atau kegiatan pengajaran sering juga
disebut dengan istilah Instruksional. Dari istilah “instruksional” ini
kemudian muncul istilah “tujuan instruksional”. Soemarsono dalam bukunya
“Tujuan Instruksional”, – sebagaimana yang dikutip oleh Suharsimi
Arikunto – mendefenisikan tujuan instruksional sebagai
tujuan yang menggambarkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan dan sikap yang
harus dimiliki oleh siswa sebagai akibat dari hasil pengajaran
yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku (behavior) yang dapat diamati
dan diukur. Selanjutnya tujuan instruksional ini dibagi
menjadi dua macam, yaitu Tujuan Instruksional Umum (TIU), dan Tujuan
Instruksional Khusus (TIK).
Dalam bahasa Inggris terdapat sejumlah istilah yang
menyatakan tujuan yang bersifat umum, seperti “aim”, “general
purpose”, “goal”, dan sebagainya. Sedangkan dalam Prosedur
Pengembangann Sistem Instruksional (PPSI) biasa disebut dengan Tujuan Instruksional
Umum atau disingkat TIU. Adapun yang dimaksud dengan Tujuan
Instruksional Umumadalah suatu kegiatan mengidentifikasi kebutuhan
instruksional untuk memperoleh jenis pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
tidak pernah dipelajari atau belum dilakukan dengan baik oleh peserta didik, (yang
mana) jenis pengetahuan, keterampilan dan sikap tersebut masih bersifat
umum atau garis besar. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Tujuan
Instruksional Umum hanya menggariskan hasil-hasil yang bersifat umum pada
kegiatan belajar dari setiap mata pelajaran yang harus dicapai oleh setiap
peserta didik
Jika kita berbicara tentang tujuan umum, biasanya sering
terjebak ke dalam kalimat indah dan muluk kedengarannya, tetapi akan menemui
kesukaran bila hendak diwujudkan karena menimbulkan tafsiran yang aneka ragam
menurut pandangan masing-masing. Misalnya tujuan: “menjadi manusia yang baik”,
“yang bertanggungjawab”, “bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”, “yang mengabdi
kepada masyarakat”, dan sebagainya. Tujuan yang umum seperti itu sangat kabur
dan tidak bisa diukur tingkat keberhasilannya, bahkan berpotensi melahirkan
macam-macam tafsiran. Kita tidak tahu dengan jelas apa yang dimaksud dengan
“baik”, “bertanggungjawab” atau “mengabdi kepada masyarakat”. Oleh sebab itu
TIU harus dianalisis sebagai bersifat umum, dan karena itu tidak memberi
pegangan yang mantap untuk menentukan bahan, strategi penyajian, maupun
penilaian. Untuk itu, Tujuan Instruksional Umum harus dijabarkan secara
khusus ke dalam Tujuan Instruksional Khusus.
Dalam dunia pendidikan dikenal sejumlah usaha untuk menguraikan
tujuan yang sangat umum ini. Salah seorang di antaranya ialah Herbert
Spencer (1860) yang menganalisis tujuan pendidikan dalam lima bagian
yang berkenaan dengan:
- Kegiatan demi kelangsungan hidup.
- Usaha mencari nafkah.
- Pendidikan anak.
- Pemeliharaan hubungan dengan masyarakat dan negara.
- Penggunaan waktu senggang.
Hasil analisis Herbert Spencer di atas masih sangat umum dan
perlu diuraikan lebih lanjut. Tokoh yang pertama berusaha memperinci tujuan
pendidikan secara sistematis adalahFranklin Bobbitt. Dalam bukunya How
to Make a Curiculum (1924) ia mengemukakan cara yang sistematis
tentang menentukan tujuan pendidikan, yakni dengan meneliti kegiatan-kegiatan
manusia dewasa dalam kehidupan masyarakat. Ia menemukan 10 kelompok kegiatan
utama yang banyak kesamaannya dengan penggolongan Herbert Spencer. Akan tetapi
Franklin Bobbitt menguraikannya lebih lanjut menjadi 10 bidang yang lebih
khusus. Usahanya itu dijuluki orang pada waktu itu sebagai permulaan “gerakan
ilmiah” dalam pembinaan kurikulum, karena menurut pendapat mereka kurikulum
serupa itu didasarkan atas penelitian. Dan sejak saat itu timbullah kurikulum
dengan tujuan-tujuan yang lebih terinci. Setiap kurikulum diisertai oleh
tujuan-tujuan khusus sebagai hasil analisis dari tujuan-tujuan yang lebih
umum. Namun meski begitu, analisis yang mereka lakukan belum sampai kepada
taraf analisis dan rumusan tujuan khusus seperti yang dituntut dalam teknologi
pendidikan sekarang yakni sebagai tujuan berbentuk perilaku peserta didik yang
dapat diamati dan diukur keberhasilannya setelah memperoleh suatu pelajaran.
Adapun manfaat dalam menentukan tujuan
instruksional; baik tujuan instruksional umummaupun khusus di
antaranya:
- Menentukan tujuan (objective) proses belajar mengajar
- Menentukan persyaratan awal instruksional
- Merancang strategi instruksional
- Memilih media pembelajaran
- Menyusun instrumen tes pada proses evaluasi (pre-tes dan post-tes)
- Melakukan tindakan perbaikan atau improvement pembelajaran
A. Kriteria Perumusuan Tujuan Instruksional Umum
Benjamin S. Bloom membagi tujuan instruksional menjadi tiga kawasan menurut jenis
kemampuan yang tercantum di dalamnya. Tujuan yang mempunyai titik berat
kemampuan berfikir disebut tujuan dalam kawasan Kognitif. Yang
termasuk dalam kawasan kognitif adalah kemampuan mengingat, memahami,
menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi sesuatu. Adapun tujuan
yang mempunyai fokus keterampilan melakukan gerak fisik disebut tujuan dalam
kawasan Psikomotor. Yang termasuk dalam kawasan psikomotor adalah
kemampuan meniru melakukan suatu gerak, memanipulasi gerak, merangkaikan
berbagai gerak, melakukan gerakan dengan tepat dan wajar. Sementara tujuan
instruksional ketiga adalah kawasan Efektif, yakni yang berintikan
kemampuan bersikap.
Tujuan instruksional
dalam kawasan mana pun harus dirumuskan dalam kalimat dengan kata kerja dan
opreasional, serta yang menunjukkan kegiatan yang dapat dilihat. Kalimat “Siswa
akan dapat menjelaskan atau menguraikan sesuatu” lebih tepat digunakan
daripada “Siswa dapat mengerti, memahami, atau mengetahui sesuatu”.
Perhatikan contoh di bawah ini:
- Siswa akan dapat menggunakan dengan baik program Microsoft Office untuk membuat data dalam mata pelajaran Teknologi Informatika dan Komunikasi (TIK).
- Siswa akan dapat menyusun rekapitulasi data adminstrasi keuangan dengan menggunakan program Microsoft Office.
- Siswa akan dapat mendemonstrasikan lompat tinggi gaya flop (suatu lompat tinggi yang digunakan kebanyakan juara saat ini).
Ketiga contoh Tujuan
Instruksional Umum (TIU) di atas masing-masing terdiri atas 4
(empat) bagian, yaitu:
1. 1. Orang
yang belajar.
Dalam kalimat-kalimat
di atas orang belajar adalah siswa, bukan pengajar atau bukan orang lain. Tujuan
memang harus berorientasi kepada siswa. Seringkali pengajar atau pengelola
pendidikan yang lain membuat perumusan yang berorientasi kepada mereka sendiri
sepertu dua contoh berikut:
- Tujuan pelajaran ini adalah mengajarkan cara mengoperasikan Microsoft Office dalam membuat data pada komputer;
- Program ini akan membahas secara mendalam tentang fungsi dan kegunaan program Microsoft Office dalam komputer.
Kedua contoh perumusan
tujuan tersebut di atas tidak memperhatikan apa yang akan dicapai oleh siswa atau
peserta didik. Keduanya dapat ditafsirkan bahwa sepanjang pengajar membahas
atau mengajarkan pelajaran yang dimaksud atau program pengajaran berisi
pelajaran tersebut, maka tujuan telah tercapai, walaupun peserta didik belum
dapat melakukan apa-apa.
1.
2. Istilah
yang digunakan adalah “akan dapat” bukan dapat atau sudah dapat.
Kalimat “akan dapat” menunjukkan bahwa tujuan
instruksional dirumuskan sebelum peserta didik mulai belajar. Dan tujuan itu
akan dicapai setelah proses belajar. Istilah “akan dapat” itu
dihubungkan dengan kata kerja yang menunjukkan hasil belajar bukan kata kerja
yang berorientasi kepada proses belajar seperti (siswa) mempelajar, membaca.
Tujuan harus berorientasi kepada hasil belajar, bukan kepada proses belajar.
Dengan demikian, bila ada perumusan tujuan yang berbunyi: “Siswa akan
mempelajari teknik pengoperasian Microsoft Office dalam membuat data di
Komputer”, dapat ditafsirkan bahwa sepanjang siswa telah melakukan
proses tersebut, maka tujuan telah tercapai, walaupun siswa belum berhasil
“memahami” apa yang telah dipelajarinya sebagai suatu tujuan. Padahal yang
penting bukanlah siswa telah melakukan proses belajar tertentu, tetapi
menunjukkan hasil belajar tertentu.
1 3.
Memilih
kata kerja aktif dan dapat diamati.
Kata kerja dalam tujuan instruksional haruslah berbentuk kata
kerja aktif dan dapat diamati, seperti menyusun, menggunakan atau mendemonstrasikan.
Bandingkanlah dengan kata kerja memahami, mengetahui,
dan merasakan yang tidak dapat diamati oleh mata serta tidak
bisa diukur ketercapaiannya. Kata “mengetahaui” atau “memahami” dapat berarti “menjelaskan”
atau dapat pula berarti “melakukan”. Kemampuan menjelaskan danmelakukan sangat
besar bedanya. Karena itu, istilah “memahami” disebut tidak jelas dan tidak
pasti karena berarti mengandung banyak pengertian, sehingga perlu dihindari.
1.
4. Tujuan
instruksional mengandung objek seperti penggunaan microsoft office,
penyusunan data dalam microsoft office, dan lompat tinggi.
Bagian ketiga dan keempat dari
tujuan instruksional yang berupa kata kerja dan objek adalah perilaku (behavior)
yang diharapkan dikuasai peserta didik pada akhir proses belajarnya. Itulah
sebabnya tujuan instruksional sering disebut tujuan yang bersifat prilaku (behavior
objective). Ia disebut pula tujuan penampilan (performance objective)
karena akan ditampilkan peserta didik setelah proses belajar.
Bagian ketiga dan keempat dari tujuan instruksional ini
merupakan bagian yang sangat penting. Berdasarkan kedua bagian tersebut akan
disusun tes dan strategi instruksional, termasuk metode, media, dan isi
pelajaran. Karena itu, ketidakjelasan perumusan tujuan instruksional akan
mengakibatkan ketidakjelasan dasar penyusunan komponen sistem instruksional
yang lain. Di samping itu, kegiatan merumuskan tujuan instruksional merupakan
salah satu wujud tanggungjawab seorang pengajar untuk dapat mengatakan atau
orang lain menilai apakah ia berhasil atau belum berhasil mencapai tujuannya.
Tujuan instruksional di samping berfungsi sebagai sesuatu yang
akan dicapai, berfungsi pula sebagai kriteria untuk mengukur keberhasilan suatu
kegiatan instruksional. Oleh karena itu, seorang pengajar yang merumuskan
tujuan instruksionalnya sebelum mulai proses pengajaran dapat dipandang sebagai
pengajar yang bersedia mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalannya
dalam mengajar. Atas dasar kriteria itu pula seorang pengajar dapat menentukan
kapan ia harus memperbaiki efektifitas pengajarannya.
Jika ada yang beranggapan
bahwa seorang pengajar tidak perlu merumuskan tujuan, tapi cukup mengajar
dengan sungguh-sungguh saja, kemudian lakukan tes atau evaluasi, maka ini
merupakan anggapan yang keliru. Sebab, pengajaran tanpa perumusan tujuan instruksional secara jelas akan mempunyai implikasi tidak
menentunya standar mutu pelajaan dan mutu lulusan program tersebut.
Tujuan instruksional umum (TIU) suatu mata pelajaran mungkin
lebih dari satu, tetapi keduanya pasti berhubungan. Dalam hal seperti itu, TIU
harus diurut dari perilaku yang harus atau sebaliknya dikuasai lebih dulu baru
disusul dengan yang lainnya. Urutan ini akan menjadi petunjuk dalam menentukan
urutan isi pelajaran/
Banyaknya TIU
tergantung kepada kompleksitas dan ruang lingkup pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang akan dipelajari mahasiswa dalam mata pelajaran tersebut. Sebagai
patokan umum mungkin sekitar 3 – 5 buah. Jumlah TIU yang terlalu banyak mungkin
akan mengakibatkan sulitnya pengelolaan kegiatan instruksional. Walaupun demikian,
tidak ada patokan yang dapat disetujui oleh semua orang tentang jumlah TIU ini.
Setelah merumuskan seluruh TIU tersebut dengan baik, maka
selanjutkan seorang pengajar haruslah melakukan evaluasi terhadap kemungkinan
ketercapaian dalam rumusan TIU itu, termasuk kendala-kendala yang akan dihadapi
dalam melaksanakannya. Apabila ternyata tidak ditemukan kendala, maka TIU
tersebut sudah dapat digunakan sebagai dasar pengembangan instruksional lebih
lanjut. Namun jika ternyata akan diyakini memiliki kendala, maka TIU itu harus
direvisi terlebih dahulu.
A. Taksonomi Tujuan
Pendidikan
Kata Taksonomi diambil dari bahasa Yunani tassein yang
berarti untuk mengklasifikasi dannomos yang
berarti aturan. Taksonomi dapat diartikan sebagai klasifikasi
berhirarki dari sesuatu, atau prinsip yang mendasari klasifikasi. Hampir semua
— benda bergerak, benda diam, tempat, dan kejadian — dapat diklasifikasikan
menurut beberapa skema taksonomi Dalam dunia pendidikan, taksonomi ini
dibuat guna mengklasifikasikan tujuan pendidikan. Taksonomi ini pertama kali
disusun oleh Benjamin S. Bloom dan kawan-kawan pada tahun
1956, sehingga sering pula disebut sebagai “Taksonomi Bloom”. Taksonomi
tujuan pendidikan ini sangat penting bagi tenaga pendidik agar memperoleh hasil
yang maksimal.
Sebagaimana yang
dijelaskan sebelumnya bahwa taksonomi tujuan instruksional membagi tujuan
pendidikan dan instruksional ke dalam tiga domain (ranah/kelompok), yaitu ranah
kognitif (kognitive domain), ranah afektif (affective
domain), dan ranah psikomotor(psychomotor domain).
Adapun Cognitive Domain (Ranah Kognitif) yakni yang berisi
perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. Sementara Affective Domain (Ranah
Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi,
seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
Sedangkan Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi
perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan
tangan, mengetik,berenang, dan mengoperasikan mesin.
Beberapa istilah lain
yang juga menggambarkan hal yang sama dengan ketiga domain tersebut di atas di
antaranya seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu:cipta, rasa, dan karsa.
Selain itu, juga dikenal istilah: penalaran, penghayatan,
danpengamalan.
B.
Taksonomi
Tujuan Kognitif
Taksonomi Bloom sangat
dikenal di Indonesia, bahkan tampaknya yang paling terkenal dibandingkan dengan
Taksonomi lainnya. Taksonomi Bloom mengelompokkan tujuan kognitif ke dalam enam
kategori; yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan
evaluasi. Keenam kategori ini diasumsikan bersifat hierarkis; yang berarti
tujuan pada level yang tinggi dapat dicapai hanya apabila tujuan pada level
yang lebih rendah telah dikuasai. Keenam kategori ini secara umum akan dijelaskan
berikut ini:
1. Pengetahuan/pengenalan.
Tujuan instruksional
pada level ini menuntut peserta didik untuk mampu mengingat (recall) informasi
yang telah diterima sebelumnya. Misalnya: fakta, terminology, rumus, strategi
pemecahan masalah, dan sebagainya.
2. Pemahaman.
Tujuan pada kategori
ini berhubungan dengan kemampuan untuk menjelaskan pengetahuan/informasi yang
telah diketahui dengan kata-kata sendiri. Dalam hal ini peserta didik
diharapkan untuk menerjemahkan atau menyebutkan kembali yang telah didengar
dengan kata-kata sendiri. Kata kerja yang diperoleh harus operasional, dengan
pengertian bahwa kompetensi dan perilaku tersebut dapat diukur unjuk kerjanya.
Hal ini penting untuk menunjukkan apakah tujuan instruksional yang ditetapkan
dapat tercapai atau tidak pada akhir pembelajaran.
3. Penerapan.
Penerapan merupakan
kemampuan untuk menggunakan atau menerapkan informasi yang telah dipelajari ke
dalam situasi atau konteks yang lain atau yang baru. Sebagai contoh, menyusun
kuesioner penelitian untuk penulisan skripsi merupakan penerapan
prinsip-prinsip penyusunan instrument penelitian yang sebelumnya telah
dipelajari mahasiswa dalam mata kuliah metode penelitian.
4. Analisis
Analisis merupakan
kemampuan untuk mengidentifikasi, memisahkan dan membedakan komponen-komponen
atau elemen suatu fakta, konsep, pendapat, asumsi, hipotesa atau kesimpulan,
dan memeriksa setaip komponen tersebut untuk melihat ada tidaknya kontradiksi.
Dalam hal ini peserta didik diharapkan untuk menunjukkan hubungan di antara berbagai
gagasan dengan cara membandingkan gagasan tersebut dengan standar, prinsip atau
prosedur yang telah dipelajari. Sebagai contoh, pembuatan kritik suatu karya
literatur atau seni merupakan analisis. Tugas seperti ini memerlukan kemampuan
analisis sebab menuntut peserta didik untuk membuat tanggapan terhadap berbagai
aspek, seperti tema, plot, derajat realisme, dan sebagainya, serta melihat
hubungan di antara aspek-aspek tersebut.
5. Sintesis
Tujuan instruksional
level ini menuntut mahasiswa untuk mampu mengkombinasikan bagian atau elemen ke
dalam satu kesatuan atau struktur yang lebih besar. Menulis esay tentang “Perwujudan
Bhineka Tunggal Ika dalam masyarakat Indonesia” merupakan contoh sintesis.
Dalam hal ini mahasiswa harus melihat berbagai aspek social, budaya dan ekonomi
dalam kelompok etnis. Misalnya system kekerabatan, system keagamaan, dan
sebagainya, dan kemudian membandingkan perwujudan berbagai aspek tersebut dan
membuat kesimpulan.
6. Evaluasi
Tujuan ini merupakan
tujuan yang paling tinggi tingkatnya, yang mengharapkan mahasiswa mampu membuat
penilaian dan keputusan tentang nilai suatu gagasan, metode, produk, atau benda
dengan menggunakan kriteria terntu. Sebagai contoh, kemampuan mengevaluasi
suatu program video apakah memenuhi syarat sebagai program instruksional yang
baik atau tidak, merupakan tujuan tingkat evaluasi. Dalam hal ini mahasiswa
harus mempertimbangkan dari segi isi, strategi, presentasi, budaya,
karakteristik pengguna, dan sebagainya. Di samping itu kriteria program yang
baik harus terlebih dahulu jelas bagi mahasiswa.
C.
Taksonomi Tujuan Afektif
Bagian berikut ini akan membahas tentang taksonomi tujuan
afektif. Taksonomi afektif yang paling terkenal dikembangkan oleh Krathwohl,
dkk. Pada dasarnya Krathwohl berusaha mengembangkan taksonomi ini ke dalam lima
tingkat perilaku. Krathwohl, Bloom, dan Masia (1964) mengembangkan taksonomi
tujuan yang berorientasikan kepada perasaan atau afektif. Taksonomi ini
menggambarkan proses seseorang di dalam mengenali dan mengadopsi suatu nilai
dan sikap tertentu yang menjadi pedoman baginya dalam bertingkah laku.
Krathwohl mengelompokkan tujuan afektif ke dalam lima kelompok, yaitu:
- Pengenalan/Penerimaan (receiving)
- Pemberian respon (responding)
- Penghargaan terhadap nilai (valuing)
- Pengorganisasian (organization)
- Pengamalan (characterization)
Pengelompokkan ini
juga bersifat hierarkhis, dengan pengenalan sebagai tingkat yang paling rendah
(sederhana) dan pengamalan sebagai tingkat paling tinggi. Makin tinggi tingkat
tujuan dalam hierarkhi semakin besar pula keterlibatan dan komitmen seseorang
terhadap tujuan tersebut.
1. Pengenalan/Penerimaan
(receiving)
Tujuan instruksional
kelompok ini mengharapkan mahasiswa untuk mengenal, bersedia menerima dan
memperhatikan berbagai stimulus. Dalam hal ini mahasiswa masih bersikap pasif,
sekedar mendengarkan atau memperhatikan saja. Contoh kata kerja operasionalnya
adalah: Mendengarkan, Menghadiri, Melihat, Memperhatikan, dan sebagainya.
2. Pemberian
respon (responding)
Keinginan untuk
berbuat sesuatu sebagai reaksi terhadap suatu gagasan, benda, atau system
nilai, lebih daripada sekedar pengenalan saja. Dalam hal ini mahasiswa
diharapkan untuk menunjukkan prilaku yang diminta, misalnya berpartisipasi,
patuh atau memberikan tanggapan secara sukarela bila diminta.
3. Penghargaan
terhadap nilai (valuing)
Penghargaan terhadap
suatu nilai merupakan perasaan, keyakinan atau anggapan bahwa suatu gagasan,
benda atau cara berfikir tertentu mempunyai nilai (worth). Dalam hal ini
mahasiswa secara konsisten berprilaku sesuai dengan suatu nilai meskipun tidak
ada pihak lain yang meminta, atau mengharuskan. Nilai dan value ini
dapat saja dipelajari dari orang lain. Misalnyan dosen, teman atau keluarga.
4. Pengorganisasian
(organization)
Pengorganisasian
menunjukkan saling berhubungan antara nilai-nilai tertentu dalam suatus sistem
nilai, serta menentukan nilai mana yang mempunyai prioritas lebih tinggi
daripada nilai yang lain. Dalam hal ini mahasiswa menjadi committed terhadap
suatu sistem nilai. Dia diharapkan untuk mengorganisasikan berbagai nilai yang
dipilihnya ke dalam satu sistem nilai, dan menentukan hubungan di antara
nilai-nilai tersebut.
5. Pengamalan
(characterization)
Pengamalan berhubungan
dengan pengorganisasian dan pengintegrasian nilai-nilai ke dalam suatu sistem
nilai pribadi. Hal ini diperlihatkan melalui perilaku yang konsisten dengan
sistem nilai tersebut. Pada tingkat ini mahasiswa bukan saja telah mencapai
perilaku-perilaku pada tingkat-tingkat yang lebih rendah, tetapi telah
mengintegrasikan nilai-nilai tersebut ke dalam suatu filsafat hidup yang
lengkap dan menyakinkan, dan prilakunya akan selalu konsisten dengan filsafat
hidup tersebut. Filsafat hidup tersebut merupakan bagian dari karakter.
D.
Taksonomi
Tujuan Psikomotor
Dari contoh-contoh
tujuan afektif ini terlihat bahwa pada tingkat-tingkat yang tinggi (valuing,
organization dan characterization) perilaku yang merupakan
indikator tercapainya tujuan-tujuan tersebut overlapping dan
tidak dapat dipisahkan dengan tegas. Ini menunjukkan bahwa meskipun
secara konseptual tingkat-tingkat tersebut dapat dipisahkan dan nampaknya
mempunyai hubungan hierarkhis, perumusan tujuan tidak dapat dengan jelas
dibedakan. Hal ini pula-lah yang membuat tujuan afektif menjadi sulit
dievaluasi apakah tercapai atau tidak.
Kawasan psikomotor pada tahun 1956 kurang mendapat perhatian
dari Bloom dan kawan-kawannya karena mereka tidak percaya bahwa pengembangan
tujuan dalam kawasan tersebut sangat berguna. Tetapi mereka menyebutkan bahwa
tujuan pendidikan dalam kawasan ini berkenaan dengan otot, keterampilan
motorik, atau gerak yang membutuhkan koordinasi otot.
Namun beberapa pakar
lain berhasil mengembangkan taksonomi kawasan psikomotor, salah satunya
dikembangkan oleh Harrow (1972). Taxonomy Harrow ini juga menyusun tujuan
psikomotor secara hierarkhis dalam lima tingkat, mencakup tingkat meniru
sebagai yang paling sederhana dan naturalisasi sebagai yang paling kompleks.
1. Meniru
(Immitation)
Tujuan instruksional
pada tingkat ini mengharapkan mahasiswa untuk dapat meniru suatu prilaku yang
dilihatnya.
2. Manipulasi
(Manipulation)
Pada tingkat ini
mahasiswa diharapkan untuk melakukan suatu prilaku tanpa bantuan visual,
sebagaimana pada tingkat meniru. Mahasiswa diberi petunjuk berupa tulisan atau
instruksi verbal, dan diharapkan melakukan tindakan (prilaku) yang diminta.
Contoh kata kerja yang digunakan sama dengan untuk kemampuan meniru.
3. Ketetapan
Gerakan (Pecision)
Pada tingkat ini
mahasiswa diharapkan melakukan suatu perilaku tanpa menggunakan contoh visual
maupun petunjuk tertulis, dan melakukannya dengan lancar, tepat, seimbang, dan
akurat.
4. Artikulasi
(Artikulation)
Pada tingkat ini
mahasiswa diharapkan untuk menunjukkan serangkaian gerakan dengan akurat,
urutan yang benar, dan kecepatan yang tepat.
5. Naturalisasi
(Naturalization)
Pada tingkat ini
mahasiswa diharapkan melakukan gerakan tertentu secara spontan atau otomatis.
Mahasiswa melakukan gerakan tersebut tanpa berfikir lagi cara melakukannya dan
urutannya.
Dari ketiga kawasan
tujuan pendidikan di atas, yang paling banyak mendapatkan perhatian pada
jenjang pendidikan tinggi adalah kawasan kognitif. Di dalam kawasan kognitif
yang paling penting adalah jenjang analisis sintesis dan evaluasi, karena
sangat dibutuhkan dalam pemecahan masalah.
Tapi sesungguhnya
pengklasifikasian ini tidak dimaksudkan untuk memilah-milah prilaku manusia
seperti halnya kita mencopoti kursi menjadi bagian-bagiannya, melainkan
hanyalah sebagai usaha pakar dalam menganalisis prilaku peserta ddik agar
memungkinkan pengembangan usaha-usaha pendidikan secara lebih sistematis. Dan
dengan mengetahui titik berat kawasan prilaku tersebut, tenaga pendidik dapat
menyusun rencana dan program pendidikan yang lebih terarah kepada tujuan
pendidikan yang dimaksud dan lebih sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar