Selasa, 15 Januari 2013

Cara Mengganti Background Facebook



Cara mengganti background facebook sangat beragam. Tampilan facebook yang cenderung monoton dan seragam yaitu biru itu membuat kita gatal ingin mengganti backgroundnya. Dan Semakin membuat kita jadi tambah galau kalao gitu gitu aja tampilannya. Sudah menjadi kodratnya bahwa manusia ingin tampil berbeda dan unik, begitupun dalam tampilan background facebook. Kalau begitu coba yang satu ini, dengan cara ini kita dapat mengganti tampilan halaman facebook menjadi lebih bagus dan yang paling penting bisa dikostumisasi sendiri. Baiklah sahabat cho chot , dari pada makin penasaran dan sudah tidak tahan lagi ingin mencobanya di PC sobat masing-masing. Baiklah, mari kita mulai Pembelajarannya :





 
1. Download Add-Ons Mozila
2. Klik "add to firefox / Download now", kemudian klik tulisan "Allow" yg bertempat di bagianatas, installasi and restart mozilla firefox.
3. pilih tampilan yang diinginkan disini.
4. klik tombol "Load into Stylish"
5. save dan refresh halaman facebook Sobat


NB : Sampai saat ini masih belum ada cara mengubah tampilan facebook untuk dilihat semua orang.Ingat Facebook tidak sama seperti Myspace/Friendster yang secara resmi dapat mengubah tampilannya sesuai dengan keinginan kita. Cara ini hanya akal-akalan dari pencipta add-ons yang kreatif.
Dan tips ini hanya berfungsi untuk para user yang menggunakan Aplikasi Browser Mozila Fireox. So, yg menggunakan Internet Explorer, Linux, Aple, kemungkinan besar tidak akan berfungsi. Silahkan Sobat Download Mozila firefox sobat sendiri banyak kok di Mbah google...Selamat Mencoba....!!!!

PENYESALAN YANG TERLAMBAT






Bismillahir-Rahmanir-Rahim … Sepasang suami isteri – seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Sendirian ia di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur. Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.

Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan , tetapi karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya. Ya… karena mobil itu bewarna gelap, maka coretannya tampak jelas. Apalagi anak-anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.

Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.

Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, “Kerjaan siapa ini !!!” …. Pembantu rumah yang tersentak engan jeritan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya merah padam ketakutan lebih-lebih melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan ‘ Saya tidak tahu..tuan.” “Kamu dirumah sepanjang hari, apa saja yg kau lakukan?” hardik si isteri lagi.

Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata “Dita yg membuat gambar itu ayahhh.. cantik …kan!” katanya sambil memeluk ayahnya sambil bermanja seperti biasa.. Si ayah yang sudah hilang kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya . Si anak yang tak mengerti apa apa menagis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya.

Sedangkan Si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan. Pembantu rumah terbengong, tidak tahu harus berbuat apa… Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya. Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar.

Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka-luka dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka-lukanya itu terkena air. Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke majikannya. “Oleskan obat saja!” jawab bapak si anak.

Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah konon mau memberi pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari bertanya kepada pembantu rumah. “Dita demam, Bu”…jawab pembantunya ringkas. “Kasih minum panadol aja ,” jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya.

Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Dita terlalu panas. “Sore nanti kita bawa ke klinik.. Pukul 5.00 sudah siap” kata majikannya itu. Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya susah serius. Setelah beberapa hari di rawat inap dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. “Tidak ada pilihan..” kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut…”Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah” kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yg dapat dikatakan lagi.

Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. “Ayah.. ibu… Dita tidak akan melakukannya lagi…. Dita tak mau lagi ayah pukul. Dita tak mau jahat lagi… Dita sayang ayah..sayang ibu.”, katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa sedihnya. “Dita juga sayang Mbok Narti..” katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.
“Ayah.. kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil.. Dita janji tidak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Dita mau makan nanti ?… Bagaimana Dita mau bermain nanti ?… Dita janji tidak akan mencoret-coret mobil lagi, ” katanya berulang-ulang. Serasa hancur hati si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung-raung dia sekuat hati namun takdir yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah jadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski sudah minta maaf…Tahun demi tahun kedua orang tua tersebut menahan kepedihan dan kehancuran bathin sampai suatu saat Sang Ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya dan wafat diiringi tangis penyesalannya yg tak bertepi…, Namun…., si Anak dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tersebut tetap hidup tegar bahkan sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya..

Semoga bermanfaat dan Dapat Diambil Hikmah-Nya …



DILARANG JATUH CINTA





Wah! Semua mata terbelalak berpusat kepada laki-laki yang berdiri persis di atas atap gedung berlantai 33, siap untuk bunuh diri. Sejumlah polisi sibuk mengamankan lokasi yang dipenuhi orang-orang yang ingin menyaksikan peristiwa tragis itu secara langsung, dengan berbagai ekspresi yang tak kalah seru. Ada yang bergidik, ada yang terbelalak histeris, ada juga yang terkagum-kagum. Situasi heboh itu melumpuhkan lalulintas.
Beberapa polisi sibuk berdebat dan stres -- mencari solusi bagaimana mencegah orang sableng itu agar tidak mewujudkan kegilaannya. Ada juga polisi yang langsung menghubungi pihak rumah sakit untuk segera mengirimkan ambulans. Mengapa ada yang ingin bunuh diri?Silakan tanya kepada para penduduk di sebuah negeri yang sedang dilanda cinta, atau kepada seorang laki-laki muda yang tampan, yang kini berdiri gagah dan tenang di bibir gedung pencakar langit, dan siap terjun bebas.
Padahal, embun masih terjun ke bawah ketika polisi yang memanjat baru mencapai setengah gedung. Orang-orang pun berteriak histeris. Dan, lihatlah, seperti tubuh yang bunuh diri pertama, wanita itu juga melayang-layang ke bawah. Dari tubuhnya, satu per satu tumbuh bunga-bunga yang mekar. Dan, begitu tiba di tanah, tubuhnya telah menjelma sebatang pohon bunga beraneka rupa. Di pucuk bunga terselip kertas yang bertulis,
''Kubuktikan cinta dengan kepasrahan!''
Belum habis keterkejutan orang-orang, kembali terdengar teriakan seseorang,
''Lihat! Di atas gedung bertingkar 52 sana juga ada yang hendak bunuh diri!''
Semua terperangah, berteriak ngeri.
''Kegilaan apa lagi ini?!''
''Lihat! Di gedung 67 tingkat itu juga!''
''Lihat! Di gedung warna kelabu ungu bertingkat 73 itu juga!''
''Lihat! Di atas menara pahlawan itu juga!''
Semua menggigil seputih kapas di ujung ilalang. Bahkan angin pun beringsut ketakutan. Sebab, hari itu lebih sepuluh orang melakukan bunuh diri dengan cara yang sama (melompat dari atas gedung bertingkat) dan motif yang sama atau hampir sama. Mungkinkah cinta yang menciptakan semua tragedi yang mencemaskan ini? Peristiwa itu mencengangkan semua orang, sekaligus menimbulkan rasa takut dan khawatir yang hebat. Dan peristiwa ini menjadi topik utama di mana-mana, dari kedai kopi, kafe hingga hotel berbintang, terutama menjadi headline koran-koran terkemuka.
Berbagai kalangan pengamat memberi komentar dan tanggapan, dari psikolog hingga pengamat sepakbola. Ternyata, hari demi hari, peristiwa bunuh diri itu tiada henti, terus-menerus terjadi. Sehingga, semakin panjang daftar orang yang mati bunuh diri dengan melompat dari atas gedung. Bahkan menjadi ancaman, melebihi wabah penyakit menular. Bunuh diri itu sudah melanda semua orang, dari jompo hingga anak-anak, dengan teknik yang semakin aneh. Sableng bin edan! Ada yang berpakaian Pangeran, Ratu, Pendekar, Batman, Superman. Ada yang bersalto, jumpalitan di udara, berselancar. Ada pula yang terjun sambil baca puisi.
Penduduk negeri itu semakin dicekam rasa takut dan waswas yang luar biasa. Semua mengkhawatirkan sanak keluarganya dan dirinya akan ikut bunuh diri suatu waktu. Sebab, penyakit bunuh diri itu dengan cepat menyebar dan menjangkiti siapa saja. ''Bila tidak segera dihentikan, anak-anak kita, saudara kita, bahkan kita sendiri akan terpengaruh, dan melakukan tindakan bunuh diri itu.''''Ya. Ini harus kita hentikan!''''Bagaimana caranya? Adakah cara jitu yang kamu pikirkan?'' ''Ah. Ayo, kalangan intelektual, berpikir dan bertindaklah segera. Jangan cuma ngoceh ke sana ke mari!'' teriak orang-orang, kehilangan arah.Penduduk semakin panik, saling bertanya satu sama lain. Tetapi, semua menggeleng. Semua angkat bahu. Semua jadi buntu jadi batu.
Apa lagi yang dapat dilakukan? Maka, tanpa dikomando, semua tekun berdoa dan samadi agar wabah penyakit bunuh diri itu segera berakhir. Sayangnya, ketika doa-doa meluncur di udara, burung-burung gagak berebutan menyerbu dan mencabik-cabiknya sehingga tidak pernah sampai di meja kerja Tuhan. Jika pun ada yang sampai, cuma berupa sisa atau percah.
Tentu Tuhan tidak sudi mendengarnya. Apalagi Tuhan semakin sibuk menata surga -- sambil mendengarkan musik klasik -- karena kiamat sudah dekat. Disengat kepasrahan yang mencekam itu, tiba-tiba Maharaja menemukan gagasan,
''Kita bikin pengumuman!'' teriaknya pasti.Seketika semua melongong.
''Pengumuman? Untuk apa?''
''Di setiap tempat, kita buat pengumuman: Dilarang Jatuh Cinta!''Semua kurang menanggapi.
''Apakah mungkin efektif untuk mengatasi maut yang mengancam di depan mata kita?'' Maharaja angkat bahu.
''Coba dulu, baru tahu hasilnya,'' jawab Maharaja.
''Masalah utamanya sudah jelas, akibat cinta. Setiap orang yang terjerat cinta, entah mengapa jadi ingin bunuh diri. Satu-satunya cara, ya, kita larang orang-orang jatuh cinta. Siapa pun tak boleh jatuh cinta agar hidup terjamin.''
''Wah, mana mungkin. Jatuh cinta itu manusiawi. Beradab dan berbudaya. Berasal dari hati. Kata hati. Muncul begitu saja -- tanpa diundang. Apalagi, cinta kan pemberian Tuhan,'' protes orang-orang, tak dapat menerima pendapat Maharaja yang dinilai ngawur.
''Terserah. Jika ingin selamat, menjauhlah dari cinta. Kalian jangan pernah jatuh cinta. Mengerti?! Tetapi jika sudah bosan hidup, ya, silakan jatuh cinta!'' tegas Maharaja.
''Sekarang, mari kita pasang pengumuman itu sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya!'' Meski dijerat tali ketidakmengertian yang luar biasa, pengumuman akhirnya dibuat juga. Dipancangkan dan ditempelkan di mana-mana, termasuk di bandara.
Maharaja bahkan melakukan siaran langsung di seluruh televisi:
''Saudara-saudari sekalian yang saya benci. Sebab, mulai sekarang, saya tak ingin mencintai, agar berumur panjang. Saya harus benar-benar dipenuhi kebencian. Seperti kita saksikan bersama-sama, cinta telah menyebabkan banyak orang bunuh diri. Cinta telah membutakan mata. Cinta telah merenggut nyawa sanak keluarga kita. Cinta mengancam kita. Maka, dengan ini, kepada semua yang mendengarkan pengumuman ini, saya tegaskan: dilarang jatuh cinta! Kita harus melawan cinta. Kita tegas-tegas menolak cinta. Cinta tidak memberi apa-apa yang berharga bagi kita, cuma kematian. Mengerikan, bukan? Mulai sekarang, kita proklamirkan semboyan baru kita: hidup sehat tanpa cinta. Hiduplah dengan saling membenci, bercuriga, menghasut, dan sebagainya. Jangan pernah mencintai!'' Aneh.
Penduduk bertepuk sorak menyambut pengumuman itu. Bahkan, untuk selanjutnya, banyak yang memuji kebijaksanaan Maharaja sebagai sikap brilian. Mereka merasa telah menemukan solusi jitu memberantas wabah penyakit bunuh diri itu. Hidup tanpa cinta, tidak terlalu buruk demi hari depan yang lebih baik. Dengan saling membenci, esok yang lebih cerah dan terjamin siapa tahu segera tercapai. Hari masih terlalu subuh. Ayam dan burung-burung masih ngorok. Tetapi keributan orang-orang dan kesibukan polisi telah merobek cadar ketenangan. Apalagi wartawan-wartawan sibuk meliput dan melaporkan -- blizt dan lampu kamera televisi berpantulan. Apa yang sedang terjadi. Wah. Sungguh mengejutkan dan mencengangkan! Betapa tidak, di depan gedung istana Maharaja berlantai 113 yang mencuat menusuk langit kelam, Maharaja dengan masih memakai piyama sedang berdiri di atasnya bersiap-siap bunuh diri.
Orang-orang menahan napas dan terbelalak ngeri menyaksikan tragedi ini. Sementara, istrinya, Maharani menyorot api kebencian, ''Biarkan ia menikmati kesempurnaan cintanya!'' Maharaja mengembangkan tangan. ''Ah. Ternyata cinta itu indah. Kita tak dapat hidup tanpa cinta.
Cinta itu anugerah. Berdosalah orang-orang yang tak memiliki cinta!'' teriak Maharaja, lalu melompat ke bawah. Tubuhnya melayang dan ditumbuhi bunga-bunga mekar. Tiba-tiba menyusul sesosok tubuh wanita muda yang sintal, melompat sembari bersenandung lagu cinta. Tubuhnya juga melayang, seperti menari -- dan ditumbuhi bunga-bunga mekar. Begitu tiba di tanah, bunga-bunga itu pelahan merambat dan menyatu, lalu membesar dan menjadi belukar yang menjalari dinding-dinding istana dan rumah tangga-rumah tangga. Semua melotot heran. ''Mengapa Maharaja bisa segila itu?''''Selingkuh. Ia selingkuh dengan sekretarisnya!'' cibir Maharani sambil meludah ke tengah belukar itu. Akibat ludah itu, tiba-tiba belukar itu bergerak-gerak liar sepenuh nafsu kelabu, membelit kedua kaki Maharani, dan menariknya,



DEAREST LOVE





Angin membelai tubuhku mesra. Menerobos melalui celah di antara jendela yang tak tertutup rapat. Dengan hembusannya yang kian kuat, ia mampu mendobrak membuka paksa jendela kamar ini. Keras suara bantingan jendela itu, sakit terdengar. Samakah dengan sakit yang ku rasa kini?
Tak sadar linangan air mata kembali jatuh basahi kedua pipi ini. Menangisi kemalangan tiada berakhir buatku. Memang semua tiada guna tuk ditangisi, namun tiada pula yang dapat ku perbuat. Hanya duduk terdiam di atas kasur, merenungi deritaku, bersiap untuk diracuni obat setiap harinya.

‘ceklek,…’

Pintu kamar terbuka. Tampak bayangan gelap datang dari balik pintu. Tak berselang lama, dapat ku lihat tegap tubuh berjalan ke arahku. Wajahnya kelam, terhalang oleh bayang-bayang tirai kamarku.
“Shin Mei-ah…” ucapnya pelan penuh akrab. Perlahan tapi pasti, paras rupawannya dapat jelas terlihat, seiring langkahnya yang semakin dekat dengan tempat dimana ku berada. “Waktunya buatmu untuk minum ramuan dari Kakek…” disodorkannya mangkuk minum berisi ramuan tradisional dari Kakek Hang yang tak lain adalah Kakeknya.
“Aku tidak mau”
Dia menatapku tajam, pandangannya penuh tanya
: ada-apa-dengan-mu-Shin Mei-?-
“Aku bosan” terka ku seakan mengerti kebingungannya. “Pun aku mulai muak dengan semua ini”
“Shin Mei….” Desahnya. “Kau tak boleh begini. Tidakkah kau ingin menyalakan kembang api di malam imlek nanti?”
“Jangan menghinaku dengan ucapan itu!!” sahutku sejurus padanya.
“Oh,… Mei-ah….Ak—“
“Jangan samakan semuanya lagi. Jelas semua berbeda. Aku bukan Mei yang dulu!!” petahku. “Aku hanya dapat bergantung dengan infuse dan obat-obatan yang tiap harinya disuntikkan ke dalam tubuhku. Belum lagi semua ramuan kuno dari Kakek Hang. Kau pun mengerti, bahwa hidupku sudah bergantung daripada itu semua…” ucapku mencak-mencak pada Juan dengan derai air mata yang kian deras.
“Shin Mei-ah” uacpnya terhenti cukup lama. “Baiklah, aku mengerti jika kau lelah dengan semua ini. Tapi percayalah, kau bisa sembuh. Percayalah pada kuasa Yang Maha Esa” tuturnya kemudian. “Mungkin kau butuh waktu untuk sendiri”
Sosoknya melangkah pergi dari ranjang tempat ku berada, dan menghilang di balik pintu kamar yang tadi dibukanya. Tak lama setelah kepergiannya, susah payah ku perintahkan kedua kakiku untuk menuruni ranjang, kemudian berjalan menuju jendela yang tadi terbuka oleh tiupan angin.
*****

Hari ini ada pameran fotografi di balai kota. Dan aku sungguh tak ingin ketinggalan dengan acara yang satu ini. Tiket masuk sudah ku pesan jauh hari tepat sehari setelah pengumuman akan diadakannya pameran itu. Teman-teman satu klub juga tak mau melewatkan hari istimewa ini. Sangat jarang untuk bisa menjumpai pameran fotografi di kota ini. Padahal, hobi yang satu ini banyak memiliki nilai artistic yang patut untuk dibagikan.
Pukul 08.00 aku sudah memarkirkan mobilku di parkiran balai kota. Tertulis di undangan, bahwa acara akan dibuka pukul 09.00 Tampak terlalu rajin memang, tapi kalian juga pasti akan melakuakan hal yang sama denganku terhadap sesuatu yang kalian sukai, bukan?!
‘bruakkkk!!!!’

“Aduuuuhh!!!” teriakku spontan saat menabrak seorang pria tinggi, berkulit putih, dan berambut cepak. Kacamatanya menyembunyikan bola matanya yang indah nan tertutup kelopak mata khas orang Tionghoa.
“Maaf. Tadi aku buru-buru” ucapnya kemudian. “Kamu nggak apa kan?” tanyanya kahwatir.
“Iya. Aku juga maaf” sahutku sembari memperhatikan senyum yang terlukis di bibirnya.
“Gara-gara aku, foto-foto kamu jadi berantakan” dia hanya tersenyum dan sibuk membereskan foto-foto seni fotografo miliknya. “Aku bantu”
“Makasih ya :)” ucapnya saat kami selesai memberaskan file miliknya yang berserakan. “Aku Juan”
“Aku Mei” ucapku sambil menjabat uluran tangannya “Nice to meet you”
“So do I. Kamu tamu di pameran ini?” Aku hanya mengangguk. “rajin banget jam segini udah dateng. Ayo masuk!! Aku panitia pelaksana di sini!!” ajaknya sambil menggandeng tanganku.
*****

Dinginnya hembusan angin menerpa wajahku yang sengaja ku condongkan keluar jendela kamar. Rasa sakit yang ku rasa, seakan hilang saat angin itu membasuh wajahku. Semua seperti terlahir kembali. Semua teringat kembali. Pertemuanku dengan orang yang paling berarti dalam hidupku. Orang yang setia menjaga dan melindungiku hingga saat ini. Orang yang baru saja ku caci beberapa detik yang lalu. Kak Juan Hang
Aku selalu nyaman jika berada di sisinya. Aku tak bisa untuk tidak tersenyum jika di sampingnya. Aku bahagia. Aku sanggup bertahan karana dia. Dia orang yang menguatkanku selain Mama dan Papa. Tapi,… aku tak ingin membawanya menderita bersamaku. Aku lemah. Aku rapuh. Tubuhku sebentar lagi hanya tulang berbelutkan kulit. Wajahku tak lagi mulus. Aku benar-benar telah menjadi sosok lain. Sangat amat tidak menarik.

Aku takut,…. Jika rasa cintanya berubah iba. Iba karena keadaanku sekarang. Manamungkin ada yang mau denganku. Lelaki mana? Maunya dia dengan perempuan buruk rupa dan penyakitan seperti aku. Apa aku benar-benar harus melepaskannya??
Aku tak mau kehilangan Juan. Tapi aku tak mau ia tidak nyaman berada di sisiku. Setetes bulir bening kembali meluncur halus di pipi saat ku pejamkan kedua mataku.
*****

“Sekarang kamu boleh buka penutup matanya!!!” ujar Juan yang sedari tadi menuntunku selayaknya orang buta. “Siap.. siap!! 1….2…..3……. surprise!!”
Aku hanya dapat membuka mulut lebar-lebar. Taman pinggir danau yang telah dihias dengan sangat indah, terpapar saat ku buka kedua mataku. “Ini apa, Kak?”
Belum hilang rasa heran sekaligus terkejutku, ditambahkannya lagi oleh Kak Juan perasaan kaget bukan main. “Would you be my girlfriend?”
Hah????!! Aku membisu. Serasa tenggorokanku tersekat oleh kata-kata yang tak mampu ku ucap. “Tolong Jawab, Mei. Aku serius. Aku ada rasa sama kamu. Kamu mau terima hati aku?”
Masih terdiam. Aku masih tak mampu berucap. Ku tarik napas panjang,… dan,, “Emang aku punya alasan untuk bilang nggak, Kak?” jawabku sekenanya sambil malu-malu.
“Apa itu berarti jawaban Iya?” kembali Juan bertanya. Aku hanya tersenyum tertunduk malu, menyembunyikan wajahku yang memerah.
“Ini sebagai tanda pengikat kita” lanjutnya seraya mengenakan cincin di jemari manisku. “Maaf kalau masih terbuat dari batang rumput. Aku janji, akan ada cincin emas yang melingkar di jemari manis kamu nantinya :)” ucapnya mantap penuh arti.
*****

Ku buka kedua mataku. Ku usap aliran air mata yang menyisakan bekas di pipi. Ku pandangi lekat-lekat cincin yang melingkar di jemariku lebih dari 4 tahun lamanya. Cincin batang rumput dari Kak Juan. Mudah rapuh memang, namun kekuatan cinta di dalamnya tak serapuh keadaan yang terlihat. Tak terhitung berapa kali simpul cincin ini terlepas. Dan Juan, akan segera menyimpulnya kembali atau bahkan menggantinya dengan batang rumput yang baru bilamana ini patah. “Walau cincin ini rapuh dan kita sudah menggantinya berulang kali, percayalah bahwa cinta kita satu sama lain tak akan terganti. Tetap satu nama dalam belahan jiwa kita.” Itulah kata-kata yang diungkapkan Juan setiap kali ia mengganti cincin batang rumput kami yang patah.
“Shin Mei-ah…” suara Mama lembut menyapa dari bayangannya yang mengejar langkah rapuhnya. Otomatis, membuyarkan semua lamunanku tentang masa-masa indah bersama Kak Juan. “Kau belum tidur kah?”
“Belum” aku menggeleng.
“Senja telah berganti malam, jangan kau buka jendela itu lebar-lebar. Angin malam tak bagus buat tubuhmu” beliau merangkul tubuhku dan menitihku ke ranjang. Kemudian beliau berbalik arah, menutup jendela kamarku dan menguncinya rapat. “Angin berhembus sangat kencang malam ini”
“Dingin. Tapi pelukanmu kian hangat terasa, Ma” ku tatap lekat-lekat wanita paruh baya di hadapanku. “Aku sangat mencintaimu, Ma”
“Begitu pula aku, Sayang. Karena itu, tetaplah berada di sisiku” diraihnya tubuhku dan dibawanya aku ke dalam dekapan kasihnya.
“Biarkan tangan Tuhan yang mengatur semua, Ma”
****

Silau mentari pagi hangat menyerbu wajahku yang tersembunyi di balik bantal dan selimut. Sinarnya menerobos celah-celah tirai putih. Seorang yang tak asing buatku, membuka tirai putih itu dan mempersilakan hangatnya mentari pagi penuhi kamarku. “Selamat pagi, Bintang Pagiku!!!”
“Kak Juan?!” ucapku kaget sekaligus kesal. “Dasar pemalas!! Bangun!!, nggak malu sama mataharinya. Udah tinggi tuh!!” celotehnya.
“Cerewat banget sih!!” gerutuku sambil kembali membawa selimut menutupi tubuhku.
“Ayo bangun!! Kalau nggak, aku kilikitik sampe kotak ketawa kamu rusak lho ya!!” godanya sambil menarik kembali selimut yang menutupi tubuhku.
“Aduh kok pagi-pagi udah rebut sih!!” suara Mama tiba-tiba hadir di antara keributan kami. Sosok Papa turut mengekor di balik Mama. “Mei-ah… kamu jangan tidur mulu!! Matahari pagi bagus buat tubuh kamu. Ayo bangun!!” ceramah Mama.
“tuh kan. Apa aku bilang?!” Juan ikut menimpali.
“Iya. Iya. Biasa aja kali!!!” sahutku kesal.
“Bukannya kamu ada jadwal buat check up + terapi hari ini?” sambung Papa. “Ayo bersiap, masa ke dokter masih ada belek matanya” lanjut Papa cekikikan, yang sebenarnya leluconnya sama sekali nggak lucu.
“Terapi ya?” ucapku lesu. Ngeri membayangkan bagaimana cairan-cairan itu disuntikkan ke dalam tubuhku. Kadang terasa dingin bagai es yang akan membekukan urat nadiku. Bahkan kadang terasa panas, bak api yang siap melalap tubuhku lahap-lahap.
“Semua akan baik-baik aja” ucap Juan sembari menepuk pundakku, Seakan memberi kekuatan pada diriku. “Kamu pasti bisa melalui ini, seperti sebelumnya :)”
Aku hanya mengangguk lemah.
*****

Hari ini tiba malam tahun baru Imlek. Ribuan orang bersuka cita menyambutnya. Bersama keluarga menuju ke kuil untuk berdoa, bermain kembang api, menyalakan lampion, meniup terompet, berhias dengan baju adat dan jepit rambut istimewa. Jauh berbeda denganku…
Amat berbeda. Pada malam istimewa ini, aku hanya terkurung dalam kamar. Menyaksikan kembang api besar di langit-langit melalui celah-celah tirai jendela. Merasakan lelah, setelah menjalani kemotrapi.
“Gong Xi Fa Chai!!” sebuah suara tiba-tiba menggema di kamarku.
“Yeah, terimakasih” ucapku sambil memandang sejurus ke arah sosok setia yang terkejar bayangannya. “Aku sudah minum ramuan. Mama sudah mengantarkannya” lanjutku mengomentari apa yang dibawa Juan.
“Oh ya?” responnya menyebalkan.
“Tuh kan,,, balik gih sana! Taruh tuh mangkok” bagai tak menghiraukan apa yang ku ucap, diteruskannya langkah kaki mendekatiku. Tentunya masih dengan menimang mangkok minum. “Buat kamu”
Ku palingkan wajahku, kesal karena diabaikan. “Ku mohon,.. terimalah” paksanya seraya menyodorkan mangkok minum itu. “Jangan paksa aku untuk—“ (sambil melirik ke dalam mangkok)
Bukan ramuan yang terdapat dalam mangkok itu. Dua buah cincin. Cincin yang dijanjikan Juan hampir 5 tahun yang lalu. “Will you marry me?”
Seakan dia bisa mnerka jawaban yang tercekat untu ku ucap. Dipasangkannya cincin itu di jemari manisku, menggantikan posisi cincin batang rumput yang selama ini melingkar di jemariku.
“Thank You J” bisikku lirih sambil mendekapnya erat.
“Semua belum selesai. Ayo ikut!!” diraihnya tubuhku dan di gendonya aku menuju taman belakang rumah.
“Maaf aku tidak meghiasnya seindah dulu” ucapnya saat kami baru saja duduk di kursi taman yang dikelilingi lilin yang sengaja ditata berbentuk hati.
“It’s so beautiful :)”
“Pagang ini!!” pintanya sembari memberikan sebatang kembang api kecil. “Kita rayakan malam tahun baru ini berdua :)” dinyalakannya kembang sumbu kembang api kecil itu.
Sangat indah. Benar-benar malam yang indah. Tuhan terimakasih, telah Engkau kirimkan Juan untuk berada di sisiku. Tak berselang lama, di keluarkannya kembang apai besar. Dinyalakannya dan….. DYAR DYAR DYAR….. semua terpecah di langit malam. Langit malam kini bersolek sangat cantik. Lebih cantik dari biasanya.

Aku hanya mampu menangis. Bahagia merasuki sebagian besar ruang hatiku. Sisanya terisikan oleh haru, karena aku tak mampu melakukan apapun buat mereka.
“Gong Xi Fa Chai!!!” sebuah suara tiba-tiba ikut nimbrung di antar keindahan malam di taman belakang. Mama dan Papa, tak mau ketinggalan menyambut pergantian tahun Shio Naga. Naga, yang melambangkan kekuatan dan penuh keberuntungan. Mereka tersenyum bahagia. Senyum yang selalu memberikan semangat baru dalam jiwa rapuhku. Aku bangkit, tertatih aku berjalan menuju mereka untuk mendekapnya.
“I love You so much!!!” bisikku di antara dekapanku terhadap mereka berdua. “Aku bangga, terlahir menjadi putri kalian :)”
“Kami sangat bangga bisa melahirkanmu, Nak” ucap Papa. “We love you :)” tambah Mama.
Kami saling pandang. Lekat-lekat menatap  senyum yang tercipta di bibir kami masing2. Air mata haru tumpah ruah. Seakan bukti akan rasa cinta di antara kami.

Tiba-tiba….
Kepalaku pusing. Semua bagai berputar-putar. Sakit mendalam merajam kapalaku. Aku berusaha menahan, membuat orang-orang di sekelilingku tak khawatir. Namun percuma. Sakit itu memaksaku untuk menyerah menahannya. Kurasakan, kedua kakiku mati rasa. Aku ambruk. Menggigil badanku kemudian. Dapat ku rasakan Juan memangkuku. Dengan sigap ia menangkap tubuhku yang ambruk tadi. Mama menangis, Papa cemas, Juan hanya membisu. Perlahan semua bayangan mulai nampak kabur. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, aku berusaha untuk berucap.
“A..aakku,,, sss..sayyy..yang… kkk..kalll..lian. mmmaaffin aaakkkk,,,ku”
Dlam!!

Gelap.

Semua hilang.

Wajah Mama, Papa, dan Juan tak tampak sudah. Hanya gelap yang ada. Samar-smar terdengar jeritan Mama yang meronta. Ingin ku peluk Mama dan mengatakan semua baik-baik saja. Namun tak berarti. Tak ada arah pasti buatku kini.

Tak jauh dari tempat ku berada, ku lihat satu titik sinar di ujung sana. Terang. Menarik diri ini agar menghampiri titik itu. Perlahan tapi pasti, ku langkahkan kaki menuju titik putih itu. Titik putih yang menjdi penerang dalam gelap duniaku detik ini.