Selasa, 06 November 2012

AKHIR CERITA CINTAKU


"Vika, ada Radit di luar?" sahabatku  muncul dari balik pintu kamarku.
"Suruh dia pergi! Bilang aku tidak ada di rumah," jawabku tanpa melihatnya.

Aku hanya bisa menyendiri di kamar, tanpa ada siapapun melihatku. Ibu dan Ayahku bercerai. Mereka berpisah saat aku berumur lima tahun. Aku di titipkan oleh Budeku. Seiring waktu berjalan, Bude meninggal dunia. Sampai sekarang aku tak tau siapa Ayah dan Ibuku sebenarnya. Yang ku tahu di dunia ini aku hanya sebatang kara dan aku hidup di dampingi sahabatku, Alya.

Penderitaanku lengkap sudah. Satu tahun lalu kecelakaan maut menimpaku. Waktu itu aku sedang mengendarai mobil, tanpa sadar di depan mobilku, sebuah truk besar lewat dengan kecepatan tinggi dan sampai akhirnya truk itu pun menabrak mobilku. Aku tidak sadarkan diri selama lima bulan lamanya. Radit terus berada di sampingku saat aku tergeletak tak berdaya di tempat tidur. Cintaku pada Radit tak semulus perkiraanku. Ibunya melarangku dekat dengan anaknya karena statusku tidak jelas. Ya, aku terima itu. Aku tersadar kalau status sosialku sangat tidak jelas. Alya mengurusku selama dua tahun lamanya semenjak Bude meninggal dunia. Aku sangat berterima kasih padanya. Namun aku merasa sangat merepotkannya karena sekarang kondisiku mungkin sangat merugikan dirinya.

Dirumah sakit yang menemaniku hanya Radit dan Alya, tidak ada yang lain. Terbangun dari tidur yang panjang, aku depresi. Aku tersadar kalau aku buta dan lumpuh. Aku tidak terima dengan semua yang menimpaku. Penderitaankupun semakin lengkap, aku putus dengan Radit. Kalau hubungan kami terus berlanjut, Ibunya akan melakukan sesuatu padaku meski kondisiku buruk seperti ini.

Hampir setiap hari Radit datang kerumah Alya untuk melihat kondisiku, namun aku selalu tidak ingin bertemu dengannya. Bukan benci padanya, tapi aku hanya menjaga jarak darinya. Aku menyayanginya, mencintainya setulus hati. Aku tersadar, aku tak pantas untuknya. Mungkin kami tidak untuk bersama selamanya.
"Vika, dia ingin bertemu denganmu! Aku sudah melarangnya masuk,"
"Pergi!! Jangan ganggu aku! Pergi kalian,"

Aku berteriak kuat. Menghancurkan barang yang ada di meja. Gelas jatuh dan pot bunga terjatuh. Lantai kamarku berserakan dengan serpihan kaca. Aku mengamuk dan tak perduli siapa yang ada di sebelahku. Terdengar suara pintu terbuka, Radit tiba-tiba masuk kedalam kamar. Dia berusaha menenangkanku. Aku tidak bisa tenang, aku tersiksa. "Pergi, jangan ganggu aku! Pergiii!!!"
"Vika, tenang!! Ini aku Radit."
"Pergi, jangan ganggu aku!!"
"Vika tenang! Jangan hipnotis diri kamu kalau kamu nggak bakal sembuh. Tenang Vika, nggak ada yang ganggu kamu disini. Disini hanya ada aku dan Alya, nggak ada yang lain!!?" Radit meremas lenganku. Air mataku menetes, membasahi pipiku. Dia memelukku, rasanya tenang. "Tenanglah Vika, aku selalu ada di sampingmu," ucap Radit sembari menghusap air mataku yang membasahi pipiku. Sisi lain diriku sangat tersiksa. Orang tua membuangku begitu saja, mengalami kecelakaan dan membuat aku lumpuh. Tapi sisi lainnya, dua orang yang sangat menyayangiku. Radit dan Alya, mereka adalah orang yang paling berkorban dalam hidupku. Terima Kasih.
***

Satu bulan berlalu. Aku merasa nyaman dengan keberadaan Radit di sampingku. Dia selalu menjagaku dan membawaku keluar dari kamar. Awalnya aku takut keluar dari kamar, rasa trauma yang besar tak bisa ku bendung. Namun karena dukungan yang begitu besar darinya, aku memberanikan diri untuk keluar dari kamar. Dan aku terbiasa keluar dari kamar.

Kondisiku semakin membaik. Tapi lagi-lagi musibah menimpaku. Dokter menyampaikan padaku kalau aku terkena Kanker otak. Itu membuatku semakin sangat depresi. Tapi sebisa mungkin hal ini aku sembunyikan dari Radit, aku tak mau dia sedih karena aku. Hanya Alya yang tau aku terkena penyakit ganas ini. "Vika, kamu harus sering-sering keluar, agar kamu terkena udara segar!" ucap Alya sembari mendorong kursi rodaku. "Al, kalau aku pergi nanti, kamu nggak menyesalkan telah mengeluarkan banyak uang untukku?" Alya menggenggam tanganku, dan sepertinya dia duduk di depanku.
"Seumur hidup, aku nggak akan menyesal karena telah merawatmu dan menghabiskan uang banyak. Semua fasilitas ini kalau aku tidak memberikannya pada sahabatku yang lebih membutuhkannya, untuk apa aku memiliki semua fasilitas ini?"
"Kalau aku pergi nanti, jaga Radit baik-baik ya Alya?"
"Vika?" dia menggenggam erat tanganku.
"Aku sangat berterima kasih padamu karena kau telah merawatku selama ini. Sampaikan pada Radit, kalau aku sangat mencintainya, Alya."
"Vika, stop! Aku dan Radit akan membawamu keluar negri minggu ini, kami akan berusaha untuk membuatmu pulih kembali," ucapnya dengan nada serak. Mungkin dia menangis. "Jangan menangis Alya. Biarlah aku dengan penyakitku ini. Aku tidak ingin lebih banyak lagi menyusahkan kalian." Alya memelukku dan menangis di pelukanku. "Jangan menangis, Alya. Allah akan membalas semua kebaikanmu dan Radit. Aku sangat berterima kasih pada kalian," Alya semakin erat memelukku. Dia menangis terisak.
"Vika!!!" teriakan keras terdengar dari taman. "Oh, kamu yang bernama Vika?" dia menyebutkan namaku. Aku tidak tau siapa wanita ini, tapi yang jelas dia marah-marah padaku. "Iya. Anda siapa ya?"
"Aku ibunya Radit. Kamu dukunin anakku ya? Mana mau anakku pada wanita lumpuh seperti kamu? Statusmu tidak jelas, duduk di kursi roda dan buta. Kamu pasti peletin anakku, iya kan?"
"Stop! Anda datang-datang marah dan mencaci Vika. Maksud anda apa? Saya bisa melaporkan anda ke polisi sebagai tuduhan telah melecehkan orang yang tidak anda kenal." Alya marah pada wanita ini. Air mataku menetes, tubuhku gemetar. "Silahkan. Saya juga akan melamporkan kalian karena kalian sudah mencuci otak anak saya. Dengar ya kamu wanita buta, kamu tidak pantas dengan anakku. Anakku ganteng, berpendidikan tinggi. Status anakku sangat jelas, sedangkan kamu berbanding terbalik dengannya."
"Diam! Sekarang juga anda pergi dari rumah saya,"
"Ingat itu! Jangan kamu dekati anakku," ucapnya.
       
Dia pergi dengan kata-katanya yang membuatku tidak enak. Alya menenangkanku yang gemetar sejak dia menghinaku habis-habisan. "Tenang Vika. Kita balik ke kamar ya," ajaknya. "Tidak. Tinggalkan aku sendiri di sini Alya, aku ingin sendiri," pintaku padanya. "Tapi Vika?" telpon berdering kuat di dapur. "Sebentar Vika, kamu jangan kemana-mana ya?" aku mengangguk.

Alya pergi meninggalkanku di depan pintu. Mungkin sekarang aku butuh udara yang lebih segar lagi. Kuberanikan diri untuk pergi keluar rumah. Mendorong kursi roda sendiri. Sampai akhirnya aku berada di taman, sepertinya. Ya, aku bertanya pada orang di sekitar, dan benar ini taman yang ingin ku kunjungi. Aku meminta tolong pada orang sekitar untuk mengantarku ke pinggir danau dan membantuku duduk di kursi panjang. Ia bersedia membantu dan aku banyak-banyak berterima kasih padanya.

Duduk di pinggir danau dan menghirup udara segar. Maaf Alya, mungkin sekarang kamu panik karena aku tidak ada di rumah. Berada di tempat ini, semua masalah bisa hilang seketika. Andai saja aku tidak buta, pasti sekarang aku bisa melihat keindahan di taman ini. Dan andai saja aku tidak lumpuh, aku bisa bermain air bersama Alya. Tapi semua itu hanya mimpi dan tak bisa lagi terwujud. Hanya mimpi!!
"Vika!!" jeritan terdengar, Suara itu sangat tidak asing di telingaku. Bagaimana Radit tau aku disini?
"Vika, kamu kok di sini? Kondisi kamu belum membaik Vika?" dia duduk di sebelahku. Aku tersenyum lebar. "Tidak apa! Aku lebih senang disini daripada di rumah?" jawabku. Radit menggenggam tanganku.
"Radit, kalau aku tidak sembuh, apa kamu masih ingin berada di sampingku?"
"Aku akan selalu berada di sampingmu. Aku nggak akan tinggalin kamu, Vika. Aku sayang kamu,"
"Kalau aku pergi nanti dan takkan kembali, apa kau mencari penggantiku yang statusnya lebih jelas?"
"Kamu ngomong apa? Kamu nggak akan pergi kemana-mana. Aku tidak akan mencari orang lain. Status kamu jelas, sangat jelas." jawabnya. Aku terdiam sesaat dan masih tersenyum. "Radit, terima kasih ya, selama ini kamu sudah menjagaku." ujarku.
"Ya. Sama-sama Vika. Tapi aku masih belum puas kalau kamu belum sembuh. Minggu ini aku dan Alya akan membawamu ke luar negri untuk berobat."
"Tidak perlu. Aku bahagia dengan kondisiku seperti ini. Bolehkah aku bersandar, Radit?"
"Boleh!!"
"Radit, terima kasih ya, kamu sudah banyak menolongku. Allah pasti membalas kebaikanmu dan Alya." ucapku sembari menutup mata. Kepalaku sangat berat, tanganku lemas. Tapi Radit masih terus menggenggamku dengan erat sembari merangkul lenganku. "Sama-sama. Aku janji, kamu pasti sembuh."

Kepalaku semakin berat dan rasanya aku melayang. Aku berada di tempat yang sangat terang, aku terus berjalan sampai aku berdiri di depan Radit dan...
"Vika? Vika?" Radit menoleh melihatku. Dia kaget melihat tubuhku yang wajahku bercucuran dengan darah yang keluar dari hidung. Dia menepuk pipiku dan berusaha menyadarkanku. Air mata Radit menetes. Ternyata aku sudah berada di alam lain. Radit memelukku dan menangis. Maaf Radit, aku harap kamu tidak sedih dengan kepergianku.

Radit jika aku harus memilih untuk bernafas dan mencintaimu, maka akan ku gunakan nafas terakhirku untuk mengatakan "Aku Mencintaimu"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar