Heru adalah pemuda yang taat beragama apalagi kepeda kedua orang tua. Ia sangat menghormati siapapun. Ameskipun ia masih sangat muda, namun Ilmu agama yang ia miliki tidak kalah dengan ustad. Maklum saja, dia adalah pemuda jebolan pesantren. Namun demikian dia sama sekali tidak memperlihatkan ilmu yang ia miliki sedikitpun, apalagi di panggil ustad, dia tidak mau. Dia tetap rendah hati dan tidak sombong sama sekali. Malah dia cenderung menyembunyikan Ilmu yang ia miliki. Kehidupannya pun sederhana. Sehari-hari dia mengais rizki dari bengkel kecil di rumahnya. Tidak seperti orang pada umumnya, dia tidak bingung dengan apa yang akan dimakan besok jika bengkel sedang sepi. Bagi saya cuma satu kalimat ungkapan untuk dia “pemuda idaman setiap wanita”. Bagaimana tidak, sudah pintar, sederhana, soleh lagi. Wah benar-benar perfect.
Meski begitu ia memiliki teman dari berbagai kalangan. Ia juga tidak membeda-bedakan siapapun dalam berteman. Sampai suatu hari salah seorang temannya, sebut saja Udin, akan menikah. Udin meminta dia untuk ikut mempersiapkan segala sesuatunya. Dia dan Udin memang sudah seperti saudara. Orang tuanya Udan juga sudah menganggap Heri seperti anaknya sendiri. Heri juga diperkenalkan dengan calon istrinya Udin. Dyah namanya. Gadis berjilbab yang cantik dan solihah.
Dan merekapun mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan Udin. Mulai dari akad nikah, resepsi, persewaan perlengkapan, juga undangan tentunya. Tak seharipun mereka lalui tanpa bersama saat proses persiapan pernikahan ini. Persiapan sudah hampir rampung. Hanya tinggal menyebar undangan saja.
Namun kali ini Udin sendirian tanpa ditemani Heri. Saat perjalanan menuju rumah saudaranya, sesuatu tak terduga terjadi pada Udin.
“Bresss…”, kecelakaan menimpa Udin.
“kring..kring..kring.., nada dering handphone Heru pun berbunyi.
“Assalamu’alaikum..”, belum sempat Heru bertanya dari siapa telepon ini, sambil serius mendengarkan orang yang menelepon, tiba-tiba terucap oleh mulut Heru, “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”. Ternyata itu adalah telepon dari rumah sakit yang mengabarkan bahwa sahabat karipnya itu kecelakaan. Tanpa pikir panjang Heru langsung tancap gas menuju rumah sakit.
Di saat pernikahan sudah di depan mata, Udin justru meregang nyawa. Kondisinya kritis karena kehilangan banyak darah. Keluarga berkumpul. Semua usaha telah maksimal dilakukan oleh dokter. Hanya do’a yang tersisa.
Pada saat-saat terakhir Udin ingin mengatakan sesuatu yang mungkin itu adalah permintaan terakhirnya. Dokter pun mempersilakan Heri untuk masuk. Namun hanya Heri dan Dyah yang diminta Udin untuk masuk. Tak lama kemudian Heri dan Dyah keluar. Sementara Dyah tak kuasa menahan tangis, untuk yang kedua kalinya terucap kata dari mulut Heri, “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”. Tangis Dyah semakin pecah dan seluruh keluarga pun tak dapat menahan sesuatu yang memaksa keluar dari mata mereka. Suasana yang semula penuh kebahagiaan, kini berubah menjadi mendung.
Tujuh hari penuh selepas pemakaman, keluarga beserta para tetangga menggelar tahlilan dan di,a bersama yang ditujukan tentu saja untuk Almarhum Udin. Dyah masih belum bisa mengikhlaskan kepergin calon suaminya itu. Entah apa yang harus Dyah dan keluarganya lakukan. Undangan telah tersebar. Dua minggu lagi akad dan resepsi seharusnya digelar. Namun mereka hanya bisa berdo’a kepada Illahi Robbi, agar diberikan ketegaran atas musibah ini.
Rupanya Alloh menyimpan takdir lain untuk mereka semua…
Setelah usai 7 hari tahlilan, Heru baru berani untuk mengatakan pesan terakhir yang disampaikan oleh Almarhum Udin. Heri pun mengumpulkan keluarganya, keluarga Almarhum Udin, dan keluarga Dyah. “Ada apakah gerangan kau mengumpulkan kami semua, nak?”, Tanya ayah almarhum.
“Sebelumnya saya mohon maaf karena mengumpulkan kalian tidak pada waktu yang tepat. Ada yang harus saya sampaikan. Ini mengenai pesan terakhir yang disampaikan almarhum kepada saya.”, jelas Heru.
“Baiklah, lanjutkan ceritamu!”,ayah Dyah menyambung.
“Sesaat sebelum Alloh memangggilnya, ia berkata padaku ingin menyampikan sebuah amanah untukku. Bahwa aku harus menjaga calon istrinya dan menggantikan posisinya dengan kata laun aku yang harus menikahi Dyah. Dan Dyah pun tahu akan amanah ini.”, jelas Heru dengan lebar.
“Benarkah itu Dyah?”, Tanya ibunya.
“Benar, Bu….”, jawab Dyah sambil menahan air mata.
“Subhanalloh…. Ini adalah amanah yang wajib kau laksanakan, nak. Insya Alloh kami semua ikhlas karena ini adalah permintaan almarhum yang sudah kau anggap saudaramu sendiri. Bukan begitu Pak, Bu?”, jelas Ayah almarhum.
“Iya, kami semua ikhlas dengan amanah ini. Kami yakin ini semua adalah rencana Alloh untuk kalian juga semua yang ada di sini.”, jawaban Ibu Dyah ini didukung oleh anggukan setuju dari semua keluarga. “Alhamdulillah, Alloh telah menunjukkan Kuasa-Nya. Kita sebagai manusia hanya bisa merencanakan, tapi Alloh jualah yang menetukan. Laksanakanlah amanah ini, nak!”, Perintah ayah Heru.
“Subhanalloh, Insya Alloh saya akan melaksanakan amanah ini. Bagaimana denganmu Dyah, maukah kaumenerimaku sebagai pengganti almarhum?”, Tanya Heru.
Tanpa berkata, Dyah hanya mengangguk seraya tersenyum haru.
“Alhamdulillah…..”, seluruh keluaraga memuji Asma Alloh dengan nafas yang lega.
Hari yang ditunggu telah tiba. Heru mengucap ijab qobul dengan lancer. Seluruh keluarga tersenyum haru. Namun banyak raut muka yang menyimpan tanda tanya akan kejadian. Tapi tidak jadi masalah, karena ini sudah menjadi takdir Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar