Angin membelai tubuhku mesra. Menerobos melalui celah di antara jendela
yang tak tertutup rapat. Dengan hembusannya yang kian kuat, ia mampu mendobrak
membuka paksa jendela kamar ini. Keras suara bantingan jendela itu, sakit
terdengar. Samakah dengan sakit yang ku rasa kini?
Tak sadar linangan air mata kembali jatuh basahi kedua pipi ini. Menangisi kemalangan tiada berakhir buatku. Memang semua tiada guna tuk ditangisi, namun tiada pula yang dapat ku perbuat. Hanya duduk terdiam di atas kasur, merenungi deritaku, bersiap untuk diracuni obat setiap harinya.
‘ceklek,…’
Pintu kamar terbuka. Tampak bayangan gelap datang dari balik pintu. Tak berselang lama, dapat ku lihat tegap tubuh berjalan ke arahku. Wajahnya kelam, terhalang oleh bayang-bayang tirai kamarku.
“Shin Mei-ah…” ucapnya pelan penuh akrab. Perlahan tapi pasti, paras rupawannya dapat jelas terlihat, seiring langkahnya yang semakin dekat dengan tempat dimana ku berada. “Waktunya buatmu untuk minum ramuan dari Kakek…” disodorkannya mangkuk minum berisi ramuan tradisional dari Kakek Hang yang tak lain adalah Kakeknya.
“Aku tidak mau”
Dia menatapku tajam, pandangannya penuh tanya
: ada-apa-dengan-mu-Shin Mei-?-
“Aku bosan” terka ku seakan mengerti kebingungannya. “Pun aku mulai muak dengan semua ini”
“Shin Mei….” Desahnya. “Kau tak boleh begini. Tidakkah kau ingin menyalakan kembang api di malam imlek nanti?”
“Jangan menghinaku dengan ucapan itu!!” sahutku sejurus padanya.
“Oh,… Mei-ah….Ak—“
“Jangan samakan semuanya lagi. Jelas semua berbeda. Aku bukan Mei yang dulu!!” petahku. “Aku hanya dapat bergantung dengan infuse dan obat-obatan yang tiap harinya disuntikkan ke dalam tubuhku. Belum lagi semua ramuan kuno dari Kakek Hang. Kau pun mengerti, bahwa hidupku sudah bergantung daripada itu semua…” ucapku mencak-mencak pada Juan dengan derai air mata yang kian deras.
“Shin Mei-ah” uacpnya terhenti cukup lama. “Baiklah, aku mengerti jika kau lelah dengan semua ini. Tapi percayalah, kau bisa sembuh. Percayalah pada kuasa Yang Maha Esa” tuturnya kemudian. “Mungkin kau butuh waktu untuk sendiri”
Sosoknya melangkah pergi dari ranjang tempat ku berada, dan menghilang di balik pintu kamar yang tadi dibukanya. Tak lama setelah kepergiannya, susah payah ku perintahkan kedua kakiku untuk menuruni ranjang, kemudian berjalan menuju jendela yang tadi terbuka oleh tiupan angin.
*****
Hari ini ada pameran fotografi di balai kota. Dan aku sungguh tak ingin ketinggalan dengan acara yang satu ini. Tiket masuk sudah ku pesan jauh hari tepat sehari setelah pengumuman akan diadakannya pameran itu. Teman-teman satu klub juga tak mau melewatkan hari istimewa ini. Sangat jarang untuk bisa menjumpai pameran fotografi di kota ini. Padahal, hobi yang satu ini banyak memiliki nilai artistic yang patut untuk dibagikan.
Pukul 08.00 aku sudah memarkirkan mobilku di parkiran balai kota. Tertulis di undangan, bahwa acara akan dibuka pukul 09.00 Tampak terlalu rajin memang, tapi kalian juga pasti akan melakuakan hal yang sama denganku terhadap sesuatu yang kalian sukai, bukan?!
‘bruakkkk!!!!’
“Aduuuuhh!!!” teriakku spontan saat menabrak seorang pria tinggi, berkulit putih, dan berambut cepak. Kacamatanya menyembunyikan bola matanya yang indah nan tertutup kelopak mata khas orang Tionghoa.
“Maaf. Tadi aku buru-buru” ucapnya kemudian. “Kamu nggak apa kan?” tanyanya kahwatir.
“Iya. Aku juga maaf” sahutku sembari memperhatikan senyum yang terlukis di bibirnya.
“Gara-gara aku, foto-foto kamu jadi berantakan” dia hanya tersenyum dan sibuk membereskan foto-foto seni fotografo miliknya. “Aku bantu”
“Makasih ya :)” ucapnya saat kami selesai memberaskan file miliknya yang berserakan. “Aku Juan”
“Aku Mei” ucapku sambil menjabat uluran tangannya “Nice to meet you”
“So do I. Kamu tamu di pameran ini?” Aku hanya mengangguk. “rajin banget jam segini udah dateng. Ayo masuk!! Aku panitia pelaksana di sini!!” ajaknya sambil menggandeng tanganku.
*****
Dinginnya hembusan angin menerpa wajahku yang sengaja ku condongkan keluar jendela kamar. Rasa sakit yang ku rasa, seakan hilang saat angin itu membasuh wajahku. Semua seperti terlahir kembali. Semua teringat kembali. Pertemuanku dengan orang yang paling berarti dalam hidupku. Orang yang setia menjaga dan melindungiku hingga saat ini. Orang yang baru saja ku caci beberapa detik yang lalu. Kak Juan Hang
Aku selalu nyaman jika berada di sisinya. Aku tak bisa untuk tidak tersenyum jika di sampingnya. Aku bahagia. Aku sanggup bertahan karana dia. Dia orang yang menguatkanku selain Mama dan Papa. Tapi,… aku tak ingin membawanya menderita bersamaku. Aku lemah. Aku rapuh. Tubuhku sebentar lagi hanya tulang berbelutkan kulit. Wajahku tak lagi mulus. Aku benar-benar telah menjadi sosok lain. Sangat amat tidak menarik.
Tak sadar linangan air mata kembali jatuh basahi kedua pipi ini. Menangisi kemalangan tiada berakhir buatku. Memang semua tiada guna tuk ditangisi, namun tiada pula yang dapat ku perbuat. Hanya duduk terdiam di atas kasur, merenungi deritaku, bersiap untuk diracuni obat setiap harinya.
‘ceklek,…’
Pintu kamar terbuka. Tampak bayangan gelap datang dari balik pintu. Tak berselang lama, dapat ku lihat tegap tubuh berjalan ke arahku. Wajahnya kelam, terhalang oleh bayang-bayang tirai kamarku.
“Shin Mei-ah…” ucapnya pelan penuh akrab. Perlahan tapi pasti, paras rupawannya dapat jelas terlihat, seiring langkahnya yang semakin dekat dengan tempat dimana ku berada. “Waktunya buatmu untuk minum ramuan dari Kakek…” disodorkannya mangkuk minum berisi ramuan tradisional dari Kakek Hang yang tak lain adalah Kakeknya.
“Aku tidak mau”
Dia menatapku tajam, pandangannya penuh tanya
: ada-apa-dengan-mu-Shin Mei-?-
“Aku bosan” terka ku seakan mengerti kebingungannya. “Pun aku mulai muak dengan semua ini”
“Shin Mei….” Desahnya. “Kau tak boleh begini. Tidakkah kau ingin menyalakan kembang api di malam imlek nanti?”
“Jangan menghinaku dengan ucapan itu!!” sahutku sejurus padanya.
“Oh,… Mei-ah….Ak—“
“Jangan samakan semuanya lagi. Jelas semua berbeda. Aku bukan Mei yang dulu!!” petahku. “Aku hanya dapat bergantung dengan infuse dan obat-obatan yang tiap harinya disuntikkan ke dalam tubuhku. Belum lagi semua ramuan kuno dari Kakek Hang. Kau pun mengerti, bahwa hidupku sudah bergantung daripada itu semua…” ucapku mencak-mencak pada Juan dengan derai air mata yang kian deras.
“Shin Mei-ah” uacpnya terhenti cukup lama. “Baiklah, aku mengerti jika kau lelah dengan semua ini. Tapi percayalah, kau bisa sembuh. Percayalah pada kuasa Yang Maha Esa” tuturnya kemudian. “Mungkin kau butuh waktu untuk sendiri”
Sosoknya melangkah pergi dari ranjang tempat ku berada, dan menghilang di balik pintu kamar yang tadi dibukanya. Tak lama setelah kepergiannya, susah payah ku perintahkan kedua kakiku untuk menuruni ranjang, kemudian berjalan menuju jendela yang tadi terbuka oleh tiupan angin.
*****
Hari ini ada pameran fotografi di balai kota. Dan aku sungguh tak ingin ketinggalan dengan acara yang satu ini. Tiket masuk sudah ku pesan jauh hari tepat sehari setelah pengumuman akan diadakannya pameran itu. Teman-teman satu klub juga tak mau melewatkan hari istimewa ini. Sangat jarang untuk bisa menjumpai pameran fotografi di kota ini. Padahal, hobi yang satu ini banyak memiliki nilai artistic yang patut untuk dibagikan.
Pukul 08.00 aku sudah memarkirkan mobilku di parkiran balai kota. Tertulis di undangan, bahwa acara akan dibuka pukul 09.00 Tampak terlalu rajin memang, tapi kalian juga pasti akan melakuakan hal yang sama denganku terhadap sesuatu yang kalian sukai, bukan?!
‘bruakkkk!!!!’
“Aduuuuhh!!!” teriakku spontan saat menabrak seorang pria tinggi, berkulit putih, dan berambut cepak. Kacamatanya menyembunyikan bola matanya yang indah nan tertutup kelopak mata khas orang Tionghoa.
“Maaf. Tadi aku buru-buru” ucapnya kemudian. “Kamu nggak apa kan?” tanyanya kahwatir.
“Iya. Aku juga maaf” sahutku sembari memperhatikan senyum yang terlukis di bibirnya.
“Gara-gara aku, foto-foto kamu jadi berantakan” dia hanya tersenyum dan sibuk membereskan foto-foto seni fotografo miliknya. “Aku bantu”
“Makasih ya :)” ucapnya saat kami selesai memberaskan file miliknya yang berserakan. “Aku Juan”
“Aku Mei” ucapku sambil menjabat uluran tangannya “Nice to meet you”
“So do I. Kamu tamu di pameran ini?” Aku hanya mengangguk. “rajin banget jam segini udah dateng. Ayo masuk!! Aku panitia pelaksana di sini!!” ajaknya sambil menggandeng tanganku.
*****
Dinginnya hembusan angin menerpa wajahku yang sengaja ku condongkan keluar jendela kamar. Rasa sakit yang ku rasa, seakan hilang saat angin itu membasuh wajahku. Semua seperti terlahir kembali. Semua teringat kembali. Pertemuanku dengan orang yang paling berarti dalam hidupku. Orang yang setia menjaga dan melindungiku hingga saat ini. Orang yang baru saja ku caci beberapa detik yang lalu. Kak Juan Hang
Aku selalu nyaman jika berada di sisinya. Aku tak bisa untuk tidak tersenyum jika di sampingnya. Aku bahagia. Aku sanggup bertahan karana dia. Dia orang yang menguatkanku selain Mama dan Papa. Tapi,… aku tak ingin membawanya menderita bersamaku. Aku lemah. Aku rapuh. Tubuhku sebentar lagi hanya tulang berbelutkan kulit. Wajahku tak lagi mulus. Aku benar-benar telah menjadi sosok lain. Sangat amat tidak menarik.
Aku takut,…. Jika rasa cintanya berubah iba. Iba karena keadaanku sekarang. Manamungkin ada yang mau denganku. Lelaki mana? Maunya dia dengan perempuan buruk rupa dan penyakitan seperti aku. Apa aku benar-benar harus melepaskannya??
Aku tak mau kehilangan Juan. Tapi aku tak mau ia tidak nyaman berada di sisiku. Setetes bulir bening kembali meluncur halus di pipi saat ku pejamkan kedua mataku.
*****
“Sekarang kamu boleh buka penutup matanya!!!” ujar Juan yang sedari tadi menuntunku selayaknya orang buta. “Siap.. siap!! 1….2…..3……. surprise!!”
Aku hanya dapat membuka mulut lebar-lebar. Taman pinggir danau yang telah dihias dengan sangat indah, terpapar saat ku buka kedua mataku. “Ini apa, Kak?”
Belum hilang rasa heran sekaligus terkejutku, ditambahkannya lagi oleh Kak Juan perasaan kaget bukan main. “Would you be my girlfriend?”
Hah????!! Aku membisu. Serasa tenggorokanku tersekat oleh kata-kata yang tak mampu ku ucap. “Tolong Jawab, Mei. Aku serius. Aku ada rasa sama kamu. Kamu mau terima hati aku?”
Masih terdiam. Aku masih tak mampu berucap. Ku tarik napas panjang,… dan,, “Emang aku punya alasan untuk bilang nggak, Kak?” jawabku sekenanya sambil malu-malu.
“Apa itu berarti jawaban Iya?” kembali Juan bertanya. Aku hanya tersenyum tertunduk malu, menyembunyikan wajahku yang memerah.
“Ini sebagai tanda pengikat kita” lanjutnya seraya mengenakan cincin di jemari manisku. “Maaf kalau masih terbuat dari batang rumput. Aku janji, akan ada cincin emas yang melingkar di jemari manis kamu nantinya :)” ucapnya mantap penuh arti.
*****
Ku buka kedua mataku. Ku usap aliran air mata yang menyisakan bekas di pipi. Ku pandangi lekat-lekat cincin yang melingkar di jemariku lebih dari 4 tahun lamanya. Cincin batang rumput dari Kak Juan. Mudah rapuh memang, namun kekuatan cinta di dalamnya tak serapuh keadaan yang terlihat. Tak terhitung berapa kali simpul cincin ini terlepas. Dan Juan, akan segera menyimpulnya kembali atau bahkan menggantinya dengan batang rumput yang baru bilamana ini patah. “Walau cincin ini rapuh dan kita sudah menggantinya berulang kali, percayalah bahwa cinta kita satu sama lain tak akan terganti. Tetap satu nama dalam belahan jiwa kita.” Itulah kata-kata yang diungkapkan Juan setiap kali ia mengganti cincin batang rumput kami yang patah.
“Shin Mei-ah…” suara Mama lembut menyapa dari bayangannya yang mengejar langkah rapuhnya. Otomatis, membuyarkan semua lamunanku tentang masa-masa indah bersama Kak Juan. “Kau belum tidur kah?”
“Belum” aku menggeleng.
“Senja telah berganti malam, jangan kau buka jendela itu lebar-lebar. Angin malam tak bagus buat tubuhmu” beliau merangkul tubuhku dan menitihku ke ranjang. Kemudian beliau berbalik arah, menutup jendela kamarku dan menguncinya rapat. “Angin berhembus sangat kencang malam ini”
“Dingin. Tapi pelukanmu kian hangat terasa, Ma” ku tatap lekat-lekat wanita paruh baya di hadapanku. “Aku sangat mencintaimu, Ma”
“Begitu pula aku, Sayang. Karena itu, tetaplah berada di sisiku” diraihnya tubuhku dan dibawanya aku ke dalam dekapan kasihnya.
“Biarkan tangan Tuhan yang mengatur semua, Ma”
****
Silau mentari pagi hangat menyerbu wajahku yang tersembunyi di balik bantal dan selimut. Sinarnya menerobos celah-celah tirai putih. Seorang yang tak asing buatku, membuka tirai putih itu dan mempersilakan hangatnya mentari pagi penuhi kamarku. “Selamat pagi, Bintang Pagiku!!!”
“Kak Juan?!” ucapku kaget sekaligus kesal. “Dasar pemalas!! Bangun!!, nggak malu sama mataharinya. Udah tinggi tuh!!” celotehnya.
“Cerewat banget sih!!” gerutuku sambil kembali membawa selimut menutupi tubuhku.
“Ayo bangun!! Kalau nggak, aku kilikitik sampe kotak ketawa kamu rusak lho ya!!” godanya sambil menarik kembali selimut yang menutupi tubuhku.
“Aduh kok pagi-pagi udah rebut sih!!” suara Mama tiba-tiba hadir di antara keributan kami. Sosok Papa turut mengekor di balik Mama. “Mei-ah… kamu jangan tidur mulu!! Matahari pagi bagus buat tubuh kamu. Ayo bangun!!” ceramah Mama.
“tuh kan. Apa aku bilang?!” Juan ikut menimpali.
“Iya. Iya. Biasa aja kali!!!” sahutku kesal.
“Bukannya kamu ada jadwal buat check up + terapi hari ini?” sambung Papa. “Ayo bersiap, masa ke dokter masih ada belek matanya” lanjut Papa cekikikan, yang sebenarnya leluconnya sama sekali nggak lucu.
“Terapi ya?” ucapku lesu. Ngeri membayangkan bagaimana cairan-cairan itu disuntikkan ke dalam tubuhku. Kadang terasa dingin bagai es yang akan membekukan urat nadiku. Bahkan kadang terasa panas, bak api yang siap melalap tubuhku lahap-lahap.
“Semua akan baik-baik aja” ucap Juan sembari menepuk pundakku, Seakan memberi kekuatan pada diriku. “Kamu pasti bisa melalui ini, seperti sebelumnya :)”
Aku hanya mengangguk lemah.
*****
Hari ini tiba malam tahun baru Imlek. Ribuan orang bersuka cita menyambutnya. Bersama keluarga menuju ke kuil untuk berdoa, bermain kembang api, menyalakan lampion, meniup terompet, berhias dengan baju adat dan jepit rambut istimewa. Jauh berbeda denganku…
Amat berbeda. Pada malam istimewa ini, aku hanya terkurung dalam kamar. Menyaksikan kembang api besar di langit-langit melalui celah-celah tirai jendela. Merasakan lelah, setelah menjalani kemotrapi.
“Gong Xi Fa Chai!!” sebuah suara tiba-tiba menggema di kamarku.
“Yeah, terimakasih” ucapku sambil memandang sejurus ke arah sosok setia yang terkejar bayangannya. “Aku sudah minum ramuan. Mama sudah mengantarkannya” lanjutku mengomentari apa yang dibawa Juan.
“Oh ya?” responnya menyebalkan.
“Tuh kan,,, balik gih sana! Taruh tuh mangkok” bagai tak menghiraukan apa yang ku ucap, diteruskannya langkah kaki mendekatiku. Tentunya masih dengan menimang mangkok minum. “Buat kamu”
Ku palingkan wajahku, kesal karena diabaikan. “Ku mohon,.. terimalah” paksanya seraya menyodorkan mangkok minum itu. “Jangan paksa aku untuk—“ (sambil melirik ke dalam mangkok)
Bukan ramuan yang terdapat dalam mangkok itu. Dua buah cincin. Cincin yang dijanjikan Juan hampir 5 tahun yang lalu. “Will you marry me?”
Seakan dia bisa mnerka jawaban yang tercekat untu ku ucap. Dipasangkannya cincin itu di jemari manisku, menggantikan posisi cincin batang rumput yang selama ini melingkar di jemariku.
“Thank You J” bisikku lirih sambil mendekapnya erat.
“Semua belum selesai. Ayo ikut!!” diraihnya tubuhku dan di gendonya aku menuju taman belakang rumah.
“Maaf aku tidak meghiasnya seindah dulu” ucapnya saat kami baru saja duduk di kursi taman yang dikelilingi lilin yang sengaja ditata berbentuk hati.
“It’s so beautiful :)”
“Pagang ini!!” pintanya sembari memberikan sebatang kembang api kecil. “Kita rayakan malam tahun baru ini berdua :)” dinyalakannya kembang sumbu kembang api kecil itu.
Sangat indah. Benar-benar malam yang indah. Tuhan terimakasih, telah Engkau kirimkan Juan untuk berada di sisiku. Tak berselang lama, di keluarkannya kembang apai besar. Dinyalakannya dan….. DYAR DYAR DYAR….. semua terpecah di langit malam. Langit malam kini bersolek sangat cantik. Lebih cantik dari biasanya.
Aku hanya mampu menangis. Bahagia merasuki sebagian besar ruang hatiku. Sisanya terisikan oleh haru, karena aku tak mampu melakukan apapun buat mereka.
“Gong Xi Fa Chai!!!” sebuah suara tiba-tiba ikut nimbrung di antar keindahan malam di taman belakang. Mama dan Papa, tak mau ketinggalan menyambut pergantian tahun Shio Naga. Naga, yang melambangkan kekuatan dan penuh keberuntungan. Mereka tersenyum bahagia. Senyum yang selalu memberikan semangat baru dalam jiwa rapuhku. Aku bangkit, tertatih aku berjalan menuju mereka untuk mendekapnya.
“I love You so much!!!” bisikku di antara dekapanku terhadap mereka berdua. “Aku bangga, terlahir menjadi putri kalian :)”
“Kami sangat bangga bisa melahirkanmu, Nak” ucap Papa. “We love you :)” tambah Mama.
Kami saling pandang. Lekat-lekat menatap senyum yang tercipta di bibir kami masing2. Air mata haru tumpah ruah. Seakan bukti akan rasa cinta di antara kami.
Tiba-tiba….
Kepalaku pusing. Semua bagai berputar-putar. Sakit mendalam merajam kapalaku. Aku berusaha menahan, membuat orang-orang di sekelilingku tak khawatir. Namun percuma. Sakit itu memaksaku untuk menyerah menahannya. Kurasakan, kedua kakiku mati rasa. Aku ambruk. Menggigil badanku kemudian. Dapat ku rasakan Juan memangkuku. Dengan sigap ia menangkap tubuhku yang ambruk tadi. Mama menangis, Papa cemas, Juan hanya membisu. Perlahan semua bayangan mulai nampak kabur. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, aku berusaha untuk berucap.
“A..aakku,,, sss..sayyy..yang… kkk..kalll..lian. mmmaaffin aaakkkk,,,ku”
Dlam!!
Gelap.
Semua hilang.
Wajah Mama, Papa, dan Juan tak tampak sudah. Hanya gelap yang ada. Samar-smar terdengar jeritan Mama yang meronta. Ingin ku peluk Mama dan mengatakan semua baik-baik saja. Namun tak berarti. Tak ada arah pasti buatku kini.
Tak jauh dari tempat ku berada, ku lihat satu titik sinar di ujung sana. Terang. Menarik diri ini agar menghampiri titik itu. Perlahan tapi pasti, ku langkahkan kaki menuju titik putih itu. Titik putih yang menjdi penerang dalam gelap duniaku detik ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar